LITERATURSULTRA.COM-Kali kelima, Supriyani duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri (PN) Andoolo dan menghadapi dakwaan dugaan penganiayaan terhadap murid SDN 4 Baito. Dalam sidang kelima, kuasa hukum Supriyani menghadirkan saksi ahli secara virtual, Senin (4/11/2024).
Saksi ahli itu adalah mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji dan Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel. Susno Duadji menyoroti keterlibatan orang tua korban D, yang juga oknum anggota Polri, Aipda Wibowo Hasyim dalam proses penyelidikan dan penyidikan padahal dia bukan penyidik.
“Itu ngawur, tidak semua anggota Polri adalah reserse. Tidak semua reserse adalah anggota penyelidik atau penyidik. Tidak semua penyelidik atau penyidik itu mendapat tugas. Yang bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah aparat polisi yang bertugas di reserse dan diberi surat perintah,” bebernya.
Susno juga menyoroti prosedur hukum pengumpulan barang bukti. Menurutnya, penyitaan barang bukti tidak boleh dilakukan sebelum adanya laporan resmi dari pelapor kepada polisi. “Apabila barang bukti disita sebelum adanya laporan polisi, upaya penyitaan itu tidak sah. Batal demi hukum. Bukan barang buktinya tapi upaya paksa itu tidak dilindungi undang-undang. Prosedurnya tidak sah,” ujarnya.
Dalam prosedur visum, Susno menyebut, hanya penyidik yang menangani perkara terkait yang berwenang meminta visum. “Penyidik yang berwenang adalah penyidik yang mendapat surat perintah untuk menyidik perkara itu. Bukan sembarang penyidik,” ungkapnya.
Pembuatan visum et repertum harus dokter forensik. Sebab, visum et repertum itu adalah produk dari ahli forensik, dalam hal ini dokter forensik. “Persoalannya, jika visum yang dibuat oleh ahli forensik itu tidak jelas apa maknanya, maka penyidik dapat memanggil si pembuat visum et repertum, untuk dimintai keterangan,” terangnya.
Keterangan Anak Tidak Sah Selanjutnya Susno menerangkan keterangan anak pada sidang sebelumnya. Menurutnya, keterangan anak bukanlah keterangan saksi karena tidak disumpah.
“Karena tidak bisa dijadikan saksi yang disumpah, keterangan anak tidak sah. Keterangan anak itu, hanya sebagai tambahan, manakala bersesuaian. Jadi keterangan anak itu bukanlah alat bukti,” jelasnya.
Sebaliknya, apabila keterangan anak tidak berkesesuaian, maka itu tidak ada gunanya. “Jangankan keterangan anak, keterangan orang tua yang sudah 67 tahun saja kalau tidak bersesuaian, tidak ada gunanya,” tuturnya. Susno menyebut, meskipun keterangan saksi bersesuaian namun tanpa didukung bukti lain misalnya forensik maka itu tidak ada gunanya juga.
“Keterangan saksi walaupun seribu, kalau hanya saksi, nggak ada gunanya. Apalagi keterangan anak tidak bersesuaian, itu bukanlah alat bukti,” terangnya. Mantan Kapoda Jawa Barat itu menjelaskan, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahannya, melainkan harus disertai alat bukti lain yang sah. “Keterangan terdakwa itu sangat lemah. Apalagi jika keterangan terdakwa didapat dengan cara yang tidak sah. Misalnya dengan memberikan janji, atau dengan cara-cara tidak sah,” ungkapnya. Saksi “Katanya” Bukan Alat Bukti Susno Duadji juga diminta oleh hakim untuk menjelaskan terkait keterangan saksi de auditu, yakni saksi yang memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia dengar dari orang lain. Yang pada dasarnya tidak dapat diterima sebagai alat bukti. “Saksi de auditu itu tidak boleh (jadi alat bukti, red). Saksi ‘katanya’, saksi ‘cerita’. Saksi dalam hukum pidana itu adalah yang melihat, mengetahui langsung dan sebagainya yang menyaksikan peristiwa itu. Bukan yang mendengar, bukan yang mendapat cerita. Saksi de auditu itu tidak ada nilainya,” jelas Susno. Ia menambahkan, saksi yang mengatakan, mendengar, dan melihat, namun manakala bertentangan satu sama lain, maka tidak ada nilainya. “Karena saksi itupun bisa saja direkayasa. Keterangan saksi lemah jika tidak didukung alat bukti lain,” tegas Susno. (Adm)